Don’t judge a book by its cover


(picture: pos 2 gunung bawakaraeng)

Don’t judge a book by its cover adalah idiom dalam bahasa inggris yang artinya jangan menilai seseorang dari penampilannya. Kita mungkin sering mendengar kalimat ini, sangat tidak asing. Saya mencoba sedikit bercerita pengalaman saya.

Berawal dari masa perkuliahan semester yang tidak muda lagi menuju masa ujian yang membuat mahasiswa gelisah. Ketika itu semua baik-baik saja seperti biasanya, kuliah, kerja tugas, organisasi, menjadi relawan. Yah seperti itulah kehidupan masa kuliahku, bagi orang lain mungkin membosankan tapi aku bersyukur dan menikmatinya.

Next, judul proposal ku diterima dan seminggu kemudian keluarlah sk judul proposal beserta nama dosen pembimbingku. Dua nama keluar dan keduanya perempuan, aku tampak kaget ketika mendapatkan sebuah dosen pembimbing yang killer. Yah itu julukan yang diberikan oleh senior-senior di kampus untuk dosen tersebut. Aku memang belum pernah diajar langsung oleh dosen tersebut. Namun mendengar cerita-cerita dari senior yang maha benar, akupun terdoktrin dan menerima informasi itu mentah-mentah.

Singkat cerita aku sering melihat dosen pembimbinku dan belum mulai untuk konsul karena aku agak santai dulu tidak terburu-buru. Kulihat dari jauh sebuah hijab besar menyelimuti dosen pembimbingku. Aku pun mulai menilai dalam hati dengan melihat wajah yang judes, hijab besar dengan warna hitam yang menurutku simbol kemisteriusan. Aku menyimpulkan bahwa yah memang dosen killer yang mungkin akan menyulitkan proposal ku.

Dan yah akhirnya setan mampu memperbudak satu manusia yang tidak tahu apa-apa. Selamat kepada iblis yang berhasil menyesatkan keturunan Adam.

After beberapa minggu, aku mulai untuk konsul perdana. Di pagi yang cerah sekitar jam 10 aku menuju ruangan dosen killer ku. Tuk tuk assalamualaikum dan masuklah diriku kedalam ruangan yang suasananya begitu tegang bagiku. And to the point saja tujuan ku ingin bertemu dengan dosen pembimbingku. Ketika kata proposal ku ucapkan sang dosen killer memotong ucapanku dengan mengatakan sudah mki telfon bunda? Dengan logat makassar. Aku terkejut dan menjawab dengan polos bahwa belum menghubungi beliau terlebih dahulu. Aku di suruh keluar dan datang esok hari dan paling penting jangan lupa menghubungi terlebih dahulu untuk shedule pertemuan konsul.

Oh ya ampun sekali lagi sang iblis mampu mengalahkan manusia. Terjerumus lah aku dalam dunia nilai menilai seseorang yang baru saja kulihat dan bertemu sekali.

But okay, berusaha untuk berpikir positif tapi tetap saja aku merasa gelisah dengan pertemuan pertama dengan dosen pembimbingku.

Keesokan harinya aku menelpon dosen pembimbingku dan wah betapa terkejutnya aku sang manusia yang dua kali kalah oleh sang iblis. Dosenku berbicara dan menjawab dengan suara yang lembut dan tak kuduga.

Hari ini aku langsung pergi menuju ruangan dosen pembimbingku untuk konsul perdana. Dah wah lagi, aku sangat terkejut degan sikap dan cara beliau membimbingku, mengingatkan ku pada ibu dirumah. Tak ada kata atau sikap kasar melainkan ketenangan yang kudapat.

Sungguh tak disangka, betapa naifnya diriku dan bodohnya diriku menilai seseorang yang bahkan aku belum mengenal.

Tiap aku konsul aku seperti anak yang sedang di arahkan kedalam jalan menuju keberhasilan. Sang dosen yang kupanggil bunda selalu mengingatkanku kedalam aqidah yang baik dan benar. Mungkin karena dosenku ini aktif dalam kajian islami.

Setelah beberapa kali pertemuan dan berbincang, aku bisa ujian proposal. Hal ini tentu saja tidak lepas dari cara dosenku membimbing mahasiswanya.

Dari awal aku sudah salah dan kalah dalam menilai seseorang. Faktanya hal yang ku nilai salah besar. Don’t judge a book by its cover adalah sesuatu yang sadar atau tidak sadar bisa kita lakukan. Kita selalu melihat seseorang dari luarnya dan langsung menilai tanpa belum mengetahui kebenarannya.

Berpikir positif adalah sala satu cara menghadapi penilaian buruk kepada orang lain. Ketika kita merasa telah menilai apapun yang menurut kita buruk atau sesuatu yang membuat kita tidak nyaman, disinilah kita dengan cepat untuk bersikap dan berpikir positif. Bukankah pram pernah mengatakan

“Seorang terpelajar sudah harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”

Kita mesti adil sejak dalam pikiran bukan. Yah berpikiran positif lah sejak dalam pikiran, kita bahkan tidak mengenal atau mengetahui apapun soal orang lain. Pantaskah kita menilainya?

Dengan hanya melihat sebuah buku berjudul Tuhan izinkan aku menjadi pelacur, apakah kita langusng berpikir bahwa kita akan jadi pelacur atau menilai langsung bahwa buku ini adalah pembodohan? Jika kita ingin mengetahuinya tentu saja dengan membacanya bukan. Kenalilah dia atau buku itu, maka kau akan mengenali siapa dia dan dirimu.

Hidup untuk dijalani, bukan untuk menghakimi

Komentar